Oleh: HM Saleh Umar
Tidak ada alasan yang memungkinkan satu pun Calon Daerah Otonomi Baru (CDOB) di luar wilayah yang diatur dalam kerangka UU Otonomi Khusus seperti empat provinsi di Papua untuk mendapat prioritas khusus dalam proses pemekaran, betapapun kuatnya jaringan politik yang dimiliki oleh daerah tersebut di lingkar kekuasaan. Kecuali Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).
Lantas, apakah mungkin satu atau dua CDOB tertentu yang bahkan tidak masuk dalam kategori kepentingan strategis nasional akan diakomodasi melalui PERPU? Patut dicatat, daerah yang tergolong dalam kepentingan strategis nasional sekalipun tetap harus melalui prosedur dan mekanisme yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014.
Pemekaran wilayah bukan semata-mata tuntutan administratif, melainkan amanat konstitusional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkuat pertahanan serta keamanan negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
UU No. 23 Tahun 2014, sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004, secara tegas menyatakan pada Pasal 33 bahwa pemerintah wajib menerbitkan PP tentang Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) dan Peta Jalan (Petada) dalam waktu satu hingga dua tahun sejak undang-undang ini disahkan.
Sayangnya, hingga saat ini, lebih dari satu dekade berlalu, kedua PP tersebut tak kunjung diterbitkan. Bahkan, pemerintah memperkuat “gembok” kebijakan melalui moratorium pemekaran, yang kini menahan sekitar 347 CDOB, termasuk Provinsi Pulau Sumbawa (PPS).
Ini adalah kelalaian konstitusional yang berdampak langsung terhadap hak dasar rakyat yang ingin meningkatkan kualitas hidup melalui pemekaran wilayah.
Kritik tajam atas kelambanan dan stagnasi ini telah kami sampaikan dalam berbagai forum resmi, termasuk saat audensi Forkonas dan Forkoda dengan Komite I DPD RI pada 9 Desember 2024. Pernyataan kami dapat ditinjau kembali melalui rekaman video resmi pertemuan tersebut.
Kritik konstruktif ini menjadi pemantik gerakan di tingkat lembaga negara. DPD RI dan DPR RI pun mulai merespons dengan melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri.
Hal ini berpuncak pada kehadiran ketiga lembaga negara tersebut dalam pelantikan Forkonas PP DOB se-Indonesia pada 10 Juni 2025, di mana mereka secara terbuka meminta Forkonas menyampaikan masukan dalam rangka revisi UU No. 23 Tahun 2014, yang telah menjadi prioritas Badan Legislasi Nasional DPR RI Tahun 2025.
Dari paparan ini, kita dapat menarik satu benang merah: bahwa perjuangan PPS harus memilih kendaraan dan arah yang tepat. Apakah kita akan menempuh jalan pintas melalui lobi kekuasaan secara non-formal yang tidak menjamin legitimasi konstitusional, atau memilih jalan lurus yang menjunjung tinggi prosedur dan kepastian hukum berdasarkan undang-undang?
Sebagai Ketua Dewan Pengawas Forkonas, saya tidak berfungsi sebagai pemilik kunci atau penentu utama. Saya hanya menjembatani dan mengarahkan perjuangan ini agar kapal bernama PPS dapat berlayar hingga ke seberang dengan selamat, utuh, dan sah sesuai konstitusi.
Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan tulus kita dalam menghadirkan Provinsi Pulau Sumbawa sebagai cita-cita kolektif yang telah diperjuangkan lebih dari 25 tahun.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 14 Juni 2025
HM Saleh Umar – Ketua Dewan Pengawas Forkonas PP DOB Se Indonesia
Komentar