oleh

Menakar Peran Lembaga Nilai dalam Legislasi Daerah : Refleksi atas Perda Penyakit Masyarakat di KSB

-Headlines, Opini-112 Dilihat

Oleh: Dr. Lalu Mujahid Imaduddin, S.H.I M.Ag

Pembuka: Konteks Polemik

Polemik seputar Peraturan Daerah (Perda) tentang penyakit masyarakat di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mensyaratkan adanya rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga adat dalam proses pengendalian peredaran minuman keras menimbulkan diskusi hangat di ruang publik.

Sejumlah praktisi hukum menilai bahwa pelibatan kedua lembaga tersebut tidak memiliki dasar kewenangan formal dalam sistem perizinan. Namun, pendekatan semata-mata prosedural dalam membaca Perda ini berisiko mengabaikan konteks sosiologis, nilai kultural, dan semangat otonomi daerah itu sendiri.

1. Legitimasi Sosial sebagai Pilar Regulasi Daerah

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, legitimasi hukum tidak hanya bersumber dari sistem formal dan perangkat administratif negara. Lembaga seperti MUI dan tokoh adat telah lama memainkan peran sebagai penjaga nilai-nilai etika sosial yang hidup di masyarakat. Pelibatan mereka dalam produk hukum daerah bukanlah anomali, melainkan bentuk aktualisasi dari legitimasi sosial terhadap kebijakan publik.

2. Otonomi Daerah: Bukan Sekadar Desentralisasi Administratif

Konstitusi kita secara eksplisit mengakui keberadaan dan kewenangan masyarakat adat (UUD 1945 Pasal 18B ayat 2). Otonomi daerah seyogianya memberikan ruang yang luas bagi ekspresi nilai-nilai lokal dalam perumusan kebijakan. Maka, pelibatan MUI dan lembaga adat dalam Perda ini adalah cerminan dari pengakuan negara terhadap aspirasi dan tata nilai masyarakat Sumbawa Barat. Menghapus peran mereka demi sekadar mengikuti prosedur administratif yang kaku justru mengerdilkan semangat demokrasi partisipatif.

3. Regulasi Nilai dan Pencegahan Sosial

Isu penyakit masyarakat bukan semata soal pelanggaran hukum, tapi juga persoalan nilai, moral, dan ketahanan sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang hanya bertumpu pada mekanisme legalistik tidak cukup untuk menangani persoalan ini secara menyeluruh. Justru di sinilah letak pentingnya sinergi antara negara dan lembaga nilai masyarakat. Perda yang menghadirkan MUI dan lembaga adat bukan berarti menyerahkan wewenang legal kepada mereka, melainkan mengakui peran sosial mereka sebagai mitra strategis dalam membangun ketahanan moral komunitas.

Baca Juga :  Membangun Kepemimpinan yang Merangkul dan Membangkitkan Partisipasi Publik

4. Keadilan Substantif dan Aspirasi Kultural

Keadilan bukan hanya tercapai ketika prosedur dijalankan, tetapi ketika kebijakan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara kontekstual. Keadilan substantif menghendaki keterlibatan aktor-aktor kultural yang memahami denyut sosial masyarakat. Dalam hal ini, MUI dan lembaga adat tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial masyarakat KSB yang religius dan berakar kuat pada kearifan lokal.

Penutup: Menjaga Keseimbangan, Memperkuat Legitimasi

Perda di KSB yang tengah diperdebatkan sesungguhnya telah menunjukkan upaya progresif untuk mengintegrasikan regulasi negara dengan norma sosial masyarakat. Daripada mempersoalkan pelibatan lembaga nilai tersebut sebagai bentuk pelanggaran kewenangan, kita seharusnya mengapresiasi langkah ini sebagai praktik demokrasi lokal yang kontekstual dan inklusif.

Untuk sementara, Perda ini tidak perlu direvisi. Justru yang dibutuhkan adalah klarifikasi redaksional dan penguatan kerangka regulatif, agar peran MUI dan lembaga adat tetap selaras dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tanpa menegasikan fungsinya sebagai penjaga nalar etika publik. Dengan demikian, nilai hukum tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga berakar dalam kesadaran masyarakat yang dilayaninya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *